WritingsArticles & SpeechesCAMPAKAN WTO DAN TINDAKAN-TINDAKAN TERKAIT GLOBALISASI IMPERIALIS

CAMPAKAN WTO DAN TINDAKAN-TINDAKAN TERKAIT GLOBALISASI IMPERIALIS

-


Pidato Pembukaan Prof Jose Maria Sison,
Ketua Liga Internasional Perjuangan Rakyat
Disampaikan dalam Forum Publik “Perlawanan Rakyat terhadap WTO dan Globalisasi Imperialis” yang diorganisasi oleh ILPS, 5 Desember 2013

Rekan-rekan sekerja dan teman-teman sekalian yang saya hormati,

Saya sangat gembira dapat membuka forum ILPS ini dalam rangka perlawanan rakyat terhadap WTO dan Globalisasi Imperialis . Saya menyambut seluruh peserta forum ini. Dan saya mengucapkan selamat kepada ILPS Indonesia dan perwakilan ILPS dari negara-negara lain serta seluruh jajaran pimpinan terkait dari Komite Koordinasi Internasional ILPS yang menyelenggarakan forum ini .

Atas nama ILPS, saya telah membuat pernyataan komprehensif dalam pesan saya kepada Satuan-Gugus Rakyat Sedunia serta dalam pidato saya pada Sidang Pleno Satuan-Gugus Rakyat Sedunia ini. Dalam pesan tersebut , saya membahas isu utama dalam perjuangan rakyat melawan WTO dan globalisasi imperialis dan mendesak orang-orang untuk mengintensipkan perlawanan yang ada. Dalam pidato tersebut pada sidang pleno Satuan-Gugus Rakyat Sedunia itu, saya juga menyampaikan tinjauan umum sejarah pelbagai masalah dan perkembangan perlawanan rakyat terhadap WTO dan pendahulunya yakni GATT, serta lembaga-lembaga imperialis lainnya seperti IMF dan Bank Dunia .

Sehubungan dengan tujuan forum ini, saya disarankan untuk memusatkan perhatian pada hubungan WTO dengan dorongan berkelanjutan dari AS untuk mendesakkan Perjanjian Kemitraan Trans Pasifik (TPPA) serta untuk membangun kembali keseimbangan militer atau kekuatan poros AS untuk Asia Timur. Saya setuju bahwa perhatian setajam-tajamnya harus diletakkan pada perkembangan terakhir ini, karena pelbagai hal itu sangat lah penting bagi sebagian terbesar rakyat dunia yang berada di wilayah termaksud, karena, ini semua secara tepat merupakan sasaran perhatian yang sungguh-sungguh dibutuhkan dan kepada kaum oposisi militan saat ini dan tahun-tahun mendatang .

WTO merupakan kerangka kerja menyeluruh dari kekuatan imperialis yang dipimpin oleh Amerika Serikat untuk mengatur perdagangan barang dan jasa, untuk mempromosikan perjanjian perdagangan pada berbagai skala, untuk memastikan dominasi negara-negara maju, untuk menyelesaikan perbedaan di antara mereka dalam bidang perdagangan serta hal-hal yang berkaitan dengan perdagangan, serta untuk mengabadikan ketimpangan hubungan perdagangan antara negara-negara imperialis dan negara-negara terbelakang.

Perjanjian Kemitraan Trans Pasifik berada dalam lingkup WTO. Ini adalah perjanjian perdagangan negara yang dihubungkan oleh Samudra Pasifik, meski secara mencolok belum mencolok tidak mencakup China. Sudah menjadi rahasia umum bahwa AS membayangkan Perjanjian Kemitraan Trans Pasifik sebagai cara untuk menjamin dominasi perdagangan oleh AS dan menekan China untuk melakukan swastanisasi BUMN yang tersisa, dan memungkinkan penetrasi ekonomi AS lebih lanjut, atau mengalami pukulan ketika terisolasi dari, atau tidak berada dalam kerangka Perjanjian Kemitraan Trans Pasifik. Perjanjian Kemitraan ini juga dapat berfungsi sebagai bentuk pengaruh dalam pembicaraan WTO, sehingga AS dapat meraih konsesi-konsesi secara maksimal dari negara-negara terbelakang serta negara-negara kapitalis.

Perjanjian Kemitraan Trans Pasifik peroleh dukungan strategis dalam rangka membangun kembali keseimbangan militer AS atau poros AS untuk Asia Timur, yang mencakup penempatan pasukan militer AS berjangka panjang, termasuk 60 persen kekuatan angkatan laut AS, di kawasan Asia – Pasifik. Tujuan mencolok AS adalah untuk memukul China dan mempengaruhi perkembangan ekonomi , politik dan budaya di China, serta untuk mengendalikan negara-negara ASEAN dan negara-negara Asia – Pasifik lainnya untuk mewujudkan tujuan termaksud.

China hari ini memiliki PDB terbesar kedua (dengan 9 triliun dollar Amerika , di samping 16.2 2 trilyun dolar Amerika yang dimiliki AS ) di dunia karena penduduknya yang besar sekali, dengan gedung-gedung raksasa yang berfungsi publik maupun swasta dan gelembung-gelembung keuangan yang dihasilkan oleh kebijakan ekonomi neoliberal. Namun demikian, China masih merupakan negara miskin karena kekayaan masyarakat disedot oleh kaum borjuasi besar asing serta lokal.

Di dalam masyarakat China terdapat pertentangan yang sangat mencolok. China secara tajam terbagi antara borjuasi besar yang telah mengumpulkan kekayaan sangat besar dan rakyat pekerja buruh dan petani yang telah dihisap dan ditindas secara dahsyat. Massa buruh dan tani sangat menderita akibat pengangguran, inflasi, kurangnya pelayanan sosial, serta akibat semakin meluasnya kemiskinan, polusi serta berbagai penyakit sosial lainnya, terutama ketika krisis ekonomi dan sosial semakin memburuk.

Di kalangan borjuis China, kaum kapitalis birokrat memiliki kecenderungan untuk mempertahankan BUMN karena hendak memastikan penerimaan negara serta menguatkan kemampuannya untuk penugasan yang bertujuan membangun kekuatan militer dan melakukan investasi asing; dengan demikian menjamin kebangkitan China sebagai kekuatan imperialis . Mereka terus mengibarkan bendera komunis untuk rasa kenyamanan semata . Tapi mereka didorong oleh nasionalisme serta ultra- nasionalisme .

Meski telah mampu menggunakan BUMN sebagai mitra dan sapi perahan , kaum borjuis swasta tertarik untuk lebih lanjut melakukan swastanisasi dan di bawah panji demokrasi memperoleh kekuasaan politik dari partai pseudo-komunis. Dengan melaksanakan Perjanjian Kemitraan Trans Pasifik dan membangun poros di Asia Timur, AS berusaha untuk menguatkan ekonomi swasta dan apa yang disebut gerakan demokrasi di China demi menuntut privatisasi lebih lanjut dan demokratisasi .

Dalam rangka penempatan strategis kekuatan militer AS di Asia Timur, yang menjadi busur pertama serangan  terhadap China dan juga Republik Rakyat Demokratik Korea adalah kekuatan militer AS di Jepang , Korea Selatan , Okinawa , Filipina dan negara-negara Asia Tenggara lainnya dan busur kedua serangan adalah kekuatan-kekuatan militer AS di Guam dan di kepulauan Pasifik dan Australia . Pelbagai kekuatan ini dikendalikan serta dikoordinasi oleh Komando Pasifik AS yang berbasis di Hawaii, yang dilakukan dalam kerangka perjanjian operasional dengan pemerintah di kawasan Asia – Pasifik, terutama negara-negara di mana ditempatkan pasukan militer AS.

Penempatan pasukan militer AS untuk menyerang China sebagaimana disebutkan di atas, pada hakekatnya merupakan sebuah tindakan yang bersifat memulai, berlaku untuk waktu yang tidak terbatas, dan secara langsung bermaksud mengkonsolidasikan dan mengukuhkan lebih lanjut kepentingan-kepentingan AS di berbagai negara di wilayah ini. Untuk waktu yang lama AS dan China akan mempertahankan pertentangan dan benturan dalam hubungan di antara mereka, untuk mempromosikan kepentingan masing-masing bersama, serta untuk menstabilkan benturan mereka dengan mengorbankan negara-negara lain di wilayah ini.

Demi kepentingan AS, China bukan lah obyek yang pasip. Kaum kapitalis birokrat telah menyelaraskan kedaulatan nasional sebagaimana dipegang oleh orang-orang China, melalui tahapan  baru revolusi China terdahulu, secara demokratis dan sosialis, serta melalui modal sosial yang dicapai di bawah sosialisme. Negara digunakan mereka untuk menarik keuntungan tertentu dengan cara memaksa rakyat untuk berdisiplin kerja serta patuh. Mereka tidak tidak lagi melayani rakyat China,  tapi mengabdi kepada pemodal China dan melindunginya dari tekanan terburuk oleh kekuatan asing.

China adalah anggota tetap Dewan Keamanan PBB dan memiliki hak veto. Ia merupakan anggota utama IMF, Bank Dunia dan WTO dan merupakan anggota yang lebih berbobot dalam Kelompok 20 yang muncul sebagai akibat dari memburuknya krisis kapitalis dunia hari ini. Untuk dunia China telah menjadikan negeri sebagai tempat di mana buruh boleh diperas lewat upah murah dan jam kerja panjang, sesuai dengan kebijakan AS di bidang outsourcing manufaktu. Dengan begitu, China berhasil meraup dolar dalam jumlah besar, agar mampu membeli pelbagai bentuk keamanan AS, menjadi kreditor terbesar AS, serta dapat menanam modal dalam skala global.

China terus menerus mengasosiasikan diri sebagai negara dunia ketiga, ketika memfasilitasi investasi asing ke dalam negeri serta melakukan perdagangan. Untuk menegaskan kemerdekaan dari kekuatan imperialis tradisional di bawah pimpinan AS, China memainkan peran luar biasa sebagai anggota BRICS (Brasil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan). Ini merupakan blok [kekuatan] ekonomi yang memiliki berbagai produk serta kapasitas ekonomi yang cukup komprehensif untuk menangkis akibat terburuk yang didesakkan oleh kekuatan imperialis tradisional, dan, dalam hal-hal tertentu, dapat menegaskan kemandirian ekonomi dari mereka. Misalnya, dapat memulai proyek-proyek ekonomi bersama tanpa AS serta tanpa menggunakan dolar AS dalam transaksi perdagangan di antara mereka.

Setelah mendukung AS dalam perang agresi terhadap Irak, China dan Rusia menjadi lebih waspada ketika harus membiayai skema strategis Amerika Serikat untuk memperluas kepentingan AS. Syahdan, mereka menggunakan Shanghai Cooperation Organization sebagai bentuk perlawanan keamanan ketika menghadapi polah manuver agresi mencolok oleh AS dan mitra NATO-nya di Asia Tengah, Asia Barat dan Afrika. China dan Rusia juga telah terlibat dalam latihan militer bersama di Asia Timur Laut dalam rangka untuk melawan latihan militer yang dilancarkan AS di seluruh Asia Timur. Di Dewan Keamanan PBB, mereka telah mengambil posisi melawan AS dan sekutu tradisionalnya berkaitan dengan Libya, Suriah dan Iran dan menindak-lanjuti hasil kompromi.

AS sedang mencoba untuk meraih keuntungan dari berbagai ketegangan antara China dengan negara-negara tetangga, yang muncul dari konflik akibat klaim atas pelbagai wilayah di laut bebas. Sikap netral AS atau pun yang secara terbuka berpihak ke satu sisi, senantiasa disesuaikan dengan kepentingan AS sendiri. Kasus pulau Diaoyu menunjukkan dukungan AS atas klaim Jepang yang didasarkan pada premis bahwa pulau itu merupakan rampasan perang. Tampak lebih mengesankan ketika tampil bersikap relatip netral sehubungan dengan sengketa wilayah yang melibatkan China dan negara-negara Asia Tenggara di perairan mereka, meskipun fakta bahwa pulau-pulau yang dipersengketakan, bagai terumbu karang dan beting yang tak dapat disangkal berada dalam zona 200 mil ekonomi eksklusif suatu negara, yang dilindungi oleh Konvensi PBB tentang Hukum Laut.

Populasi ASEAN besar dan wilayahnya pun luas serta kaya akan sumber daya alam. Ini memiliki potensi tinggi sebagai pasar bersama bagi negara-anggota. Tapi secara umum, tingkat perkembangan mereka dalam hal industrialisasi yang menyeluruh, masih lah rendah, meskipun pada masa sebelumnya pernah disebut sebagai mukjizat macan Asia Tenggara sehubungan dengan meledaknya sektor semi-manufaktur dan bangunan, serta hype terus-menerus tentang pertumbuhan cepat yang kebal terhadap krisis kapitalisme global. Pada umumnya, mereka disandera secara ekonomi dan finansial oleh kekuatan-kekuatan imperialis. Setidaknya empat di antara mereka telah terjebak dalam pembicaraan dalam rangka Perjanjian Kemitraan Trans Pasifik (TPPA). Pada saat yang sama, China memperkarakan ASEAN dalam kerangka sistem kapitalis dunia dan kebijakan ekonomi neoliberal.

Saya telah diberitahu bahwa Kelompok 33 (G33) negara-negara berkembang, yang meliputi Filipina dan Indonesia serta China dan India, telah mendorong untuk menyurutkan liberalisasi pertanian dalam pembicaraan WTO di Bali, sembari berharap, dengan cara apa pun, mampu menghadapi serangan neoliberal. Sementara setiap konsesi dimenangkan oleh negara-negara dunia ketiga yang memiliki nilai positif, mereka jelas terlalu lemah sekali untuk mematahkan cengkraman imperialis.

Sementara Indonesia dan Filipina sering diangkat-angkat sebagai generasi penerus atau bahkan sebagai model “kebangkitan” ekonomi bagi negara-negara terbelakang untuk ditiru, jalur untuk pembangunan yang sejati dihadang di tiap langkah oleh imperialisme. Semua negara-negara terbelakang di Asia Tenggara dan daerah lainnya harus menegaskan kemerdekaan nasional dan melaksanakan pembangunan ekonomi riil melalui reformasi industrialisasi dan reformasi agraria, jika mereka ingin lolos dari cengkeraman raksasa seperti Amerika Serikat dan China melalui pelbagai benturan dan pertengkaran mereka. Tidak ada cara lain. Tapi negara-negara terbelakang seperti Filipina dan Indonesia yang tunduk di bawah kebijakan imperialisme AS, yang melanggengkan keterbelakangan, sehingga perusahaan monopoli asing dan bank-bank AS dapat mengambil keuntungan besar [superprofits] dari pengurasan sumber daya alam, perdagangan timpang dan riba internasional. Pengabdian neokolonial selanjutnya dimanifestasikan oleh negara-negara ini dengan cara membuka lebih lanjut tanah lahan mereka, perairan dan ruang udara telah disediakan untuk mendirikan pangkalan militer AS yang baru dan melanjutkan pengembangan berbagai pangkalan, perluasan atau pengaktipan-kembali yang lama, serta kebebasan bergerak yang lebih luas bagi angkatan bersenjata AS dalam konteks berancang-ancang membangun keseimbangan kekuatan militer AS.

Seperti di semua negara terbelakang , massa rakyat yang luas, terutama buruh serta petani yang sudah bekerja keras itu, harus berjuang demi kemerdekaan nasional, demokrasi, pembangunan ekonomi riil, keadilan sosial dan solidaritas internasional melawan imperialisme dan kaum reaksioner. Hanya mereka sendiri, bukan negara boneka reaksioner yang ada, dapat memperjuangkan hak-hak dan kepentingan mereka sendiri untuk akhirnya mendirikan negara demokrasi rakyat yang berfungsi sebagai benteng pembebasan dan pembangunan nasional dan sosial.

Dalam konteks ini, ILPS selalu berkomitmen penuh untuk membangkitkan, mengorganisasi dan memobilisasi rakyat untuk melawan imperialisme dan reaksi, serta untuk menegakkan hak-hak dan kepentingan nasional dan demokratis mereka. Sebagai catatan, kami menegaskan kembali dukungan penuh kami untuk melanjutkan perjuangan rakyat melawan WTO dan globalisasi imperialis, serta untuk Satuan-Gugus Rakyat Sedunia yang diselenggarakan untuk melawan KTT [Konperensi Tingkat Tinggi] WTO yang ke-9.

Kami berterima kasih kepada Anda semua yang telah berpartisipasi dalam forum ini. Kami berharap Anda meraih kemenangan besar dalam perjuangan anti-imperialis dan demokratis rakyat Anda . # # #

===================================================================

RESIST THE WTO AND RELATED ACTS
OF IMPERIALIST GLOBALIZATION

Opening Speech by Prof. Jose Maria Sison,
Chairperson of the International League of Peoples’ Struggle

at the ILPS Public Forum on People’s Resistance
against the WTO and Imperialist Globalization, December 5, 2013

Dear Colleagues and Friends,

I  am deeply pleased to open this ILPS forum on people’s resistance against the WTO and Imperialist Globalization. I welcome all the participants in this forum. I congratulate the Indonesian and other chapters of the ILPS and all the concerned officers of the ILPS International Coordinating Committee for organizing this forum.

In behalf of the ILPS, I have made comprehensive statements in my message to the Global People’s Camp and in my speech to the GPC Plenary.  In the message, I cover the major issues in the people’s struggle against  the WTO and imperialist globalization and urge the people to intensify their resistance. In the speech, I try to give the PGC plenary a historical overview of the issues and development of the people’s resistance to the WTO and its GATT predecessor as well as to other imperialist institutions like the IMF and World Bank.

For the purpose of this forum, I have been advised to focus on the link between the WTO and the ongoing drive of the US to push the Trans Pacific Partnership Agreement (TPPA) and the  military rebalancing or US pivot to East Asia. I agree that the sharpest possible attention  must be drawn to these recent developments because they are of vital importance to the majority of the people of the world who are in the region and because these are properly the targets of serious critical attention and militant opposition now and in many years to come.

The WTO is an overarching framework of the imperialist powers led by the US for governing trade in goods and services, for promoting trade agreements on varying scales, for ensuring the dominance of the developed countries, for settling differences among them in trade and trade-related issues and for perpetuating the lopsided trade relations between the imperialist countries and the underdeveloped countries.

The TPPA is within the ambit of the WTO. It is a trade agreement of countries linked by the Pacific Ocean and yet it conspicuously excludes China. It is an open secret that the US has conceived of the TPPA as a way of guaranteeing the trade dominance of the US and pressuring China to privatize its remaining state-owned enterprises and allow further US economic penetration or else suffer the pain of exclusion and isolation by the TPPA.The TPPA  can also serve as a leverage in the WTO talks to extract maximum concessions to the US from underdeveloped countries as well as other capitalist countries.

The TPPA is strategically backed up by the US military rebalancing or pivot to East Asia, which entails the long-term deployment  of US military forces, including 60 per cent of US naval forces, in the Asia-Pacific region.  The conspicuous objective of the US is to contain China and influence economic, political and cultural developments within China and to take in tow the ASEAN countries and the other Asia-Pacific countries for realizing the objective.

China has now the second largest GDP (with 9 trillion USD, next to the 16.2 trillion USD of the US) in the world because of its huge population, the massive public and private construction and financial bubbles generated by neoliberal economic policy. But it is still a poor country because the social wealth is appropriated by the foreign and local big bourgeoisie.

It  has a highly polarized society.  It is sharply divided between the big bourgeoisie that has amassed enormous wealth and the toiling masses of workers and peasants who have been extremely exploited and oppressed and are suffering gravely from unemployment, inflation, lack of social services, widespread, poverty, pollution and other social ills, especially as the economic and social crisis is worsening.

Among the Chinese bourgeoisie, the bureaucrat capitalists have the tendency to retain the state enterprises to ensure state revenues and the ability to deploy these for the purpose of building military power and making foreign investments and thus guaranteeing  the rise of China as an imperialist power. They continue to wave the communist flag as a matter of convenience. But they are motivated by nationalism and ultra-nationalism.

Although it has  been able to use state enterprises as partners and milking cows, the private bourgeoisie is interested in further privatizing these and in the name of democracy devolving political power from the pseudo-communist party. By undertaking the TPPA and the pivot to East Asia, the US seeks to  embolden the economic privateers and so-called democracy movement  within China to demand further privatization and democratization.

In the strategic deployment of US military power  in East Asia, the first arc of offense against China and also the DPRK are the US military forces in Japan, South Korea, Okinawa, the Philippines and other Southeast Asian countries and the second arc of offense are those US military forces in Guam and other Pacific islands and Australia.  These forces are commanded and coordinated by the US Pacific Command based in Hawaii and have operational agreements with the governments in the Asia-Pacific region,especially those countries where the US military forces are based.

The aforementioned deployment of the US military forces against China will have a preemptive character for an indefinite period of time and is more intended immediately to consolidate and entrench further US interests in various countries in the region.  The US and China will maintain a relationship of contention and collusion for a long time to promote their respective and mutual interests and to stabilize their collusion at the expense of other countries in the region.

China is not a passive object of US interest. The bureaucrat capitalists have appropriated the national sovereignty asserted by the Chinese people through the new democratic and socialist stages of the Chinese revolution in the past and the social capital created by them under socialism. They draw certain advantages from the use of the state to impose labor discipline and obedience on the people, serve no longer the Chinese people but  private Chinese capital and protect it from the worst impositions by foreign powers.

China is a  permanent member of the UN Security Council  and has veto power.  It is a major member of the IMF, World Bank and WTO and an even more weighty member in the Group of 20 which has arisen as a result of the current worsening crisis of the world capitalist system.  By having served as the sweatshop of the world,  in accordance with the US policy of outsourcing manufactures, China has pooled large dollar holdings to be able to buy US securities and become the biggest creditor of the US as well as to invest on a global scale.

It has continued to associate itself with the third world countries if only to facilitate its own foreign investments and trade.  To assert independence from the traditional imperialist powers headed by the US, it is playing  an  outstanding role as a member of the BRICS (Brazil, Russia, India, China and South Africa). This is an economic bloc that has a range of products and economic capabilities comprehensive enough to fend off the worst impositions of the traditional imperialist powers and assert economic independence from them  in certain respects.  For instance, it can initiate joint economic projects without the US or veer away from the US dollar in trade transactions outside of those with the US.

After supporting  the US in its war of aggression on Iraq, China and Russia have become more alert to the strategic scheme of the US to expand its interests at their expense.  Thus, they have usedthe Shanghai Cooperation Organization as a security counter to the obvious aggressive maneuvers of the US and its NATO partners in Central Asia, West Asia and Africa.  China and Russia have also engaged in joint military exercises in Northeast Asia in order to counter the military exercises launched by the US in the whole of East Asia. In the UN Security Council, they have taken positions against the US and its traditional allies with regard to Libya, Syria and Iran and proceed to working out compromises.

The US is trying to benefit from tensions between China and its neighboring countries arising from conflicting claims over territories in common seas.  Whenever suitable to its own interests, the US proclaims neutrality or it is openly partisan to one side.  In the case of the Diaoyu island, it indicates support for the claim of Japan based on the premise that the island was a war booty.  It is more emphatic about being neutral relative to  the territorial disputes of China and Southeast Asia countries in the seas between them, notwithstanding the fact that the disputed islets, reefs and shoals are indisputably within the 200-mile exclusive economic zone of a country under the UN Convention on the Law of the Sea.

The ASEAN has a huge population and a vast area rich in natural resources.  It has a high potential as a common market for its member-states.  But their general level of development in terms of comprehensive industrialization is still low, despite the previous so-called  miracles of Southeast Asian tigers in semi-manufacturing and construction booms and the continuing hype of fast growth immune to the crisis of global cvapitalism.  They are generally held captive economically and financially by the imperialist powers.  At least four them have trapped into the TPPA talks. At the same time,China courts ASEAN within the framework of the world capitalist system and the neoliberal economic policy.

I have been informed that the Group of 33 (G33) developing countries, which includes the Philippines and Indonesia as well as China and India, have been pushing for a rollback in liberalization of agriculture in the WTO Bali talks, which they hope to somehow blunt the neoliberal offensive. While any such concessions won by third world countries have a positive value, they are clearly too measly to break the imperialist stranglehold.

While Indonesia and the Philippines are often hyped as the next generation or even models of “emerging” economies for underdeveloped countries to emulate, their path to genuine development is blocked by imperialism at every step. All underdeveloped countries in Southeast Asian and other regions have to assert national independence and carry out real economic development through national industrialization and land reform if they wish to escape  the clutches of such giants as the US and China in the course of their collusion and contention.  There is no other way.

But the states  of underdeveloped countries like  the Philippines and Indonesia are subservient to the policies of US imperialism which perpetuate underdevelopment in order to allow US and other foreign monopoly firms and banks  to take superprofits  from the extraction of natural resources, lopsided trade and international usury.The neocolonial  subservience is further manifested  by these states further opening up their territorial land, waters and airspace for the setting up of new US bases and forward stations, the expansion or reactivation of old ones, and wider freedom of movement for US armed forces in the context of the US military rebalancing.

As in all underdeveloped countries, the broad masses of the people, especially the toiling masses of workers and peasants, have to struggle for national independence, democracy, real economic development, social justice and international solidarity against imperialism and reaction.  Only they themselves, not the existing reactionary puppet states, can fight for their own rights and interests and ultimately establish the people’s democratic states that serve as the bulwark of national and social liberation and development.

In this context, the ILPS is always firmly committed to arousing, organizing and mobilizing the people to resist imperialism and reaction and to uphold their  national and democratic rights and interests. On that note, we reiterate our full support for the people’s continuing struggle against the WTO and imperialist globalization, and for the Global People’s Camp being held to counter the 9th WTO summit.

We thank  all of you for participating in the forum.  We wish you greater victories in the anti-imperialist and democratic struggles of your people . ###

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Latest news

Resolution of the Second Congress of the Communist Party of the Philippines, November 7, 2016

Ka Joma is a Marxist-Leninist-Maoist extraordinaire and indefatigable revolutionary fighter

JUST IN | Mga larawan sa huling pamamaalam Kay CPP-NPA founder Jose Maria ‘Joma’ Sison

Natapos na ang seremonya sa huling pamamaalam kay Joma Sison pasado alas dose ng tanghali, December 27

Pamilya at mga kaibigan nagbigay-pugay sa huling paalam kay CPP Founder Joma Sison | TFC News

EXCLUSIVE: Na-cremate na ang labi ni Communist Party of the Philippines Founder Jose Maria "Joma" Sison. Bago ito, binigyan siya ng pagkilala ng mga mahal sa buhay at mahal sa buhay. Nagpapatrol, Jofelle Tesorio. #TFCNews

Ka Joma: A hero of the Filipino people is cremated in an emotion-filled but revolutionary farewell ceremony

The two-hour farewell ceremony held at the auditorium of the Crematorium Daelwijck in this city which began at 1030am (CET) was packed with family members, comrades, representatives of political parties and organizations, progressive alliances and groups, his former staff members, friends and admirers, and was filled with songs and poetry.

LIVE: ‘Tanglaw at gabay, hanggang tagumpay’

Progressive groups and individuals gather at the University of the Philippines Diliman, Quezon City to pay their respects to Prof. Jose Maria 'Joma' Sison, who recently passed last December 16, 2022

LIVE: ‘Tanglaw at gabay, hanggang tagumpay’

Progressive groups and individuals gather at the University of the Philippines Diliman, Quezon City to pay their respects to Prof. Jose Maria 'Joma' Sison, who recently passed last December 16, 2022.

Must read

Resolution of the Second Congress of the Communist Party of the Philippines, November 7, 2016

Ka Joma is a Marxist-Leninist-Maoist extraordinaire and indefatigable revolutionary fighter

JUST IN | Mga larawan sa huling pamamaalam Kay CPP-NPA founder Jose Maria ‘Joma’ Sison

Natapos na ang seremonya sa huling pamamaalam kay Joma Sison pasado alas dose ng tanghali, December 27

You might also likeRELATED
Recommended to you